Publikasi
Home | Kebijakan dan Program | Kegiatan  | Alamat | LAN | Publikasi


HASIL-HASIL PENELITIAN PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL

1. Kajian Pola Kerjasama Antar Daerah Dalam Penyediaan Fasilitas Publik

        Kerjasama antara pemerintah daerah (pemda), dipandang akan menjadi salah satu kebutuhan yang cukup signifikan dalam rangka otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat dari salah satu segi kemanfaatannya dalam menangani masalah keuangan bagi pemda. Selain itu, dari sisi efisiensi dan efektivitas, kerjasama antar pemda dapat memberikan peningkatan kinerja pelayanan publik yang cukup signifikan.

        Ada beberapa negara yang mengembangkan suatu model atau pola kerjasama antar daerah, diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Malaysia. Berdasarkan informasi tersebut, maka Lembaga Administrasi Negara memandang perlu dilakukannya suatu studi komparasi untuk mengkaji pola-pola kerjasama yang telah dikembangkan di beberapa negara tersebut. Hasil kajian ini diharapkan akan memberikan suatu gambaran empiris mengenai pola kerjasama antar daerah yang dapat dikembangkan di Indonesia. Untuk itu dilakukan dua kajian, yaitu kajian komparatif mengenai kerjasama antar pemda yang telah dilakukan di Jepang, Korea Selatan dan Malaysia; dan kajian deskripitif mengenai situasi dan kondisi kerjasama antar pemda yang selama ini telah dilaksanakan oleh beberapa daerah di Indonesia.

        Dari kajian komparatif beberapa macam pola kerjasama yang dilakukan dan dikembangkan di negara Jepang, Korea Selatan dan Malaysia, dapat ditarik suatu gambaran pola umum kerjasama antar daerah dalam penyediaan fasilitas publik. Fasilitas publik yang dikerjasamakan tersebut antara lain adalah pengelolaan sampah, pengelolaan panti jompo, pembangunan jembatan, penyediaan air bersih, dan pengelolaan lingkungan. Kerjasama antar daerah tersebut dilakukan baik melalui kerjasama langsung, kerjasama melalui pembentukan lembaga kerjasama, maupun melalui mediasi/bantuan pemerintah pusat.

        Sedangkan dari hasil kajian deskriptif di Indonesia, diperoleh gambaran bahwa kerjasama antar pemda dihadapkan pada beberapa permasalahan, seperti: ketidakjelasan kebijakan kewenangan daerah; belum jelasnya mekanisme pengelolaan kerjasama; bagaimana menyelesaikan konflik dengan rakyat setempat; dan bagaimana menyelesaikan konflik antar pemda.

        Berdasarkan kajian yang dilakukan baik di Jepang, Korea Selatan dan Malaysia maupun di beberapa daerah di Indonesia, kerjasama antar daerah dalam penyediaan fasilitas publik telah menjadi bagian penting dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Melalui pengelolaan kerjasama antar daerah yang baik, penyediaan fasilitas publik dan pelayanan kepada masyarakat akan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Hal inilah yang akan memberikan kontribusi penting bagi pemerintah daerah, terutama dalam efektivitas pencapaian tujuan program dan efisiensi anggaran.

        Pengalaman negara-negara Jepang, Korea Selatan dan Malaysia dalam implementasi kerjasama antar daerah dalam penyediaan fasilitas publik, dapat dijadikan contoh pengalaman kerjasama yang dapat dikembangkan di Indonesia. Ada 3 (tiga) alternatif pola kerjasama antar daerah yang dapat dikembangkan di Indonesia. Pertama, pola kerjasama antar pemda yang dilakukan secara langsung. Kedua, pola kerjasama antar pemda yang dilakukan melalui pembentukan lembaga. Ketiga, pola kerjasama antar pemda yang bersifat mediatif. Tentunya, pengembangan pola-pola kerjasama tersebut di Indonesia, dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku di Indonesia.

        Dalam rangka menuju kerjasama antar daerah tersebut, terlebih perlu diciptakan kondisi yang kondusif. Untuk itu, ada beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah pusat antara lain adalah memperjelas ruang lingkup kewenangan otonomi yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah; memberi kepastian peraturan pemerintah tentang kerjasama antar daerah sebagai tindak lanjut dari pasal 87 UU No.22 Tahun 1999; dan memotivasi dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dalam pembangunan dan pengelolaan fasilitas publik, melalui surat edaran maupun forum kerjasama antar daerah.

        Sedangkan kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain adalah melakukan identifikasi situasi dan kondisi permasalahan di bidang-bidang dan fasilitas pelayanan publik; melakukan pendekatan dengan daerah-daerah sekitarnya mengenai kemungkinan melakukan kerjasama dalam pengelolaan dan pembangunan fasilitas publik.

        Melalui keterpaduan langkah yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut, diharapkan kerjasama antar daerah dalam penyediaan dan pengelolaan fasilitas publik akan dapat berjalan lancar. Apabila kerjasama antar daerah tersebut berjalan lancar, maka manfaat yang akan langsung dapat dirasakan bagi pemerintah daerah adalah efisiensi anggaran pembangunan. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat daerah adalah tersedianya fasilitas publik yang dibutuhkan dalam waktu yang relatif lebih cepat, terutama dalam rangka menjalankan roda perekonomian masyarakat.


2. Kajian dan Perbandingan Model Pembangunan Masyarakat Daerah di Berbagai Negara Dalam Rangka     Pelaksanaan Otonomi Daerah

        Latar belakang Kajian dan Perbandingan Model Pembangunan Masyarakat Daerah di Berbagai Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah adalah tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut dimaksudkan antara lain untuk memberdayakan masyarakat dan menumbuhkan prakarsa serta peran aktif masyarakat dalam proses membangun dirinya. Salah satu tantangannya adalah bagaimana menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan sesuai dengan tuntutan perubahan yang menghendaki masyarakat sebagai agen pembangunan (development agent). Pengalaman pelaksanaan pembangunan di masa-masa lalu, peran serta masyarakat berada dalam posisi yang lemah. Sebagai akibatnya hasil-hasil pembangunan kurang menyentuh kepentingan dan aspirasi masyarakat.

        Pembangunan masyarakat daerah (local community development) memiliki banyak dimensi. Pembangunan masyarakat dapat dilihat dari pembangunan ekonomi masyarakat (local economic development), pembangunan sosial masyarakat (local social development), pembangunan budaya masyarakat (local culture development) dan pembangunan politik masyarakat (local politic development). Di dalam pembangunan masyarakat, dimensi-dimensi tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik-karakteristik yang berbeda ini juga memerlukan penanganan yang berbeda pula, yaitu dibutuhkan model tertentu sesuai dengan karakteristik masyarakat dan geografisnya. Sebagai contoh, model pembangunan masyarakat daerah di kawasan pantai/perikanan akan berbeda dengan masyarakat di kawasan pertanian, begitu juga dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

        Dari latar belakang tersebut, tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji berbagai model pembangunan masyarakat yang dilakukan di beberapa negara khususnya masyarakat di daerah pantai/perikanan, pertanian dan hutan, serta mencari alternatif model pembangunan masyarakat yang dapat diterapkan di Indonesia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya alternatif pemecahan masalah pembangunan masyarakat di Indonesia.

        Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapa gambaran mengenai model pembangunan masyarakat di beberapa negara dan implementasi pembangunan masyarakat di Indonesia.

        Model pembangunan yang dilaksanakan di beberapa negara memiliki karakteristik yang berbeda, dengan penekanan yang berbeda pula. Program-program pembangunan masyarakat dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dimana pembangunan tersebut akan dilakukan, juga mempertimbangkan profesi sebagian besar masyarakat, struktur sosial dan lain sebagainya. Dari model pembangunan masyarakat daerah yang dikaji di beberapa negara terpilih, terbukti bahwa peran dan partisipasi masyarakat daerah sangat diperlukan dalam berbagai program pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tujuan semula dari program tersebut menjadi terdistorsi. Hal ini terjadi karena kondisi fisik maupun mental masyarakat yang sering beranggapan pembangunan yang dilakukan tidak akan merubah kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Para pelaku pembangunan masyarakat harus lebih bersikap obyektif dalam hal ini, karena masyarakat-lah yang paling mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan.

        Karakteristik daerah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu masyarakat. Hal tersebut membentuk suatu ekosistem secara utuh. Oleh karena itu dalam merancang suatu program pembangunan masyarakat daerah, diperlukan data, informasi dan pengetahuan yang menyeluruh mengenai masyarakat yang akan menjadi target pembangunan tersebut.

        Keterlibatan masyarakat untuk ikut menentukan arah dan tujuan pembangunan merupakan syarat terpenting bagi keberhasilan program pembangunan. Bentuk dari keterlibatan masyarakat di beberapa negara diwujudkan dalam suatu institusi atau organisasi (pembangunan kelembagaan). Adanya kelembagaan di dalam masyarakat ini merupakan prasyarat yang dibutuhkan dalam program pembangunan.

        Sedangkan peran fasilitator hanya sebagai pendamping masyarakat, dan membuat masyarakat untuk dapat duduk bersama memecahkan persoalan mereka sendiri. Fasilitator bertugas mencari 'sumbatan' yang menghambat akses masyarakat daerah (pada umumnya masyarakat marjinal) terhadap sumber daya formal. Seorang fasilitator memainkan tiga peranan utama, yang kesemuanya dilakukan secara 'terselubung', yaitu;
1.   melakukan animasi, artinya membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun
2.   melakukan fasilitasi, maksudnya memberikan bantuan yang bersifat teknis
3.   melakukan phasing out, atau mengundurkan diri secara perlahan dari masyarakat.

        Pembangunan masyarakat daerah merupakan strategi yang dinamis, yang menyadari adanya keragaman di dalam masyarakat. Keragaman tersebut akan memberikan perbedaan 'tekanan' di masyarakat, misalnya adat istiadat, tingkat pendidikan dan sebagainya. Secara umum pembangunan masyarakat daerah mengacu pada pembangunan yang berwawasan lingkungan (environmental development), pembangunan berbasis komunitas (community-based development), pembangunan berpusat pada rakyat (people-centered development), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan juga pembangunan berbasis kelembagaan (institution-based development). Implikasi kebijakan dari pendekatan tersebut adalah penekanannya pada transformative and transactive planning, community empowerment dan participative. Melalui pendekatan tersebut diharapkan ketergantungan masyarakat dapat dikurangi sehingga masyarakat dapat segera mengambil inisiatif untuk melakukan aksi bersama dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan mereka.

        Untuk pelaksanaan program-program pembangunan masyarakat daerah di Indonesia secara umum masih menghadapi berbagai kendala dan masalah. Masalah-masalah tersebut bermuara pada ketidakberdayaan masyarakat untuk ikut berperan dalam pembangunan. Selain itu masyarakat seringkali hanya dianggap sebagai obyek sehingga keberadaan mereka tidak lebih sebagai "alibi" bagi penyalahgunaan program pembangunan, baik oleh oknum birokrat maupun swasta.

        Berdasarkan gambaran hasil kajian tersebut, ada beberapa pemikiran yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan pembangunan masyarakat di Indonesia.
1.   Pembangunan kelembagaan harus terlebih dahulu dilakukan. Hal tersebut dapat dimulai oleh masyarakat itu sendiri,       maupun oleh pihak lain yaitu fasilitator (pemerintah atau NGO).
2.   Dalam merencanakan suatu program pembangunan masyarakat daerah, penting untuk melakukan community self       survey.
3.   Pembangunan masyarakat di kawasan pantai/perikanan harus memperhatikan beberapa aspek berikut: mekanisme       kerja nelayan, pembagian gender dalam angkatan kerja, hak atas sumber daya perairan, skema kredit,       pengembangan koperasi - yang meliputi pergeseran pola tempat tinggal, kebutuhan finansial, jam kerja yang tidak       tetap, isolasi sosial dan tingkat pendidikan, struktur pekerja, pengambilan keputusan dan sistem kepemilikan laut.
4.   Peran koperasi (kelembagaan) diupayakan untuk ditingkatkan dan selanjutnya menggalakkan peran koperasi.       Dengan demikian para nelayan tidak selalu dirugikan.
5.   Pembangunan masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan harus memperhatikan aspek-aspek berikut: konsep       hutan kemasyarakatan (social forestry), variabel sosiologi - yang mencakup populasi, tanah, tenaga kerja dan       organisasi sosial.
6.   Meninjau kembali keberadaan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI).
7.   Perlu dibuatnya Forest Management yang berbasis masyarakat.
8.   Hal-hal yang penting diperhatikan dalam pembangunan masyarakat daerah pertanian adalah sistem pertanian yang       berkesinambungan, sumber daya alam yang terkait dengan kegiatan pertanian seperti air, energi, udara dan tanah.
9.   Peningkatan dan reorientasi penyuluh pertanian.
10. Pemerintah harus memahami kondisi obyektif dimana pembangunan dilaksanakan, pembangunan masyarakat       bersifat inklusif dan universalistik dalam jangkauannya, hal ini akan memberikan perhatian pada lokalitas dan       wilayah serta sesuai dengan semangat otonomi daerah.
11. Pembangunan bertujuan menghadirkan perubahan (ideal type). Setiap kebijakan pembangunan nasional yang tidak       mengutamakan masyarakat terutama masyarakat miskin, sesungguhnya belum menyentuh substansi       permasalahannya. Memerangi kemiskinan perlu memperoleh porsi besar dalam kebijakan mendatang,       khususnya pengimplementasiannya secara bertanggung jawab.


3. Model Vitalisasi Usaha Kecil Menengah di Berbagai Negara

        Kajian Model Vitalisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Berbagai Negara bertujuan untuk mengkaji konsep kebijakan dan penerapan pengembangan UKM di berbagai negara serta merumuskan model vitalisasi UKM yang dapat diaplikasikan di Indonesia. Dalam kajian ini dibahas konsep kebijakan pengembangan UKM di Thailand, Indonesia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Amerika Serikat serta penerapannya di negara tersebut. Hasil analisis komparatif dan rekomendasi kajian adalah seperti dipaparkan di bawah ini.

        Upaya untuk menghilangkan peminggiran (marjinalisasi) terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai cara. Pada dasarnya marjinalisasi UKM ini merupakan persoalan aksesibilitas dan akomodasi terhadap perumusan kebijakan-kebijakan publik yang dapat dihilangkan jika pemerintah, melakukan presures (tekanan-tekanan) yang efektif terhadap upaya tersebut, sehingga produk kebijakan yang dihasilkan tidak selalu merugikan UKM.

        Lemahnya tekanan-tekanan terhadap perumus kebijakan publik agaknya terkait dengan pemahaman tentang UKM itu sendiri yang masih simpang siur. Beragamnya pemahaman, terutama definisi UKM yang dikeluarkan BPS, BI, Depperindag, BKPM dan UU No.9 Th 1995, menjadi salah satu faktor yang membuat sektor ini terkesampingkan. Di negara lain, seperti Thailand, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia, definisi UKM amat jelas dibedakan dari segi batas jumlah tenaga kerja dan jumlah modal yang dimiliki oleh UKM, kecuali Amerika Serikat yang hanya membatasi dari segi jumlah tenaga kerjanya saja.

        Peminggiran UKM tersebut merupakan suatu hal yang amat ironis karena UKM menyangkut kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat sehubungan dengan peran UKM dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini terlihat dari jumlah rata-rata UKM di beberapa negara yang telah disebutkan di atas adalah lebih dari 90% dari total keseluruhan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Selain itu sektor UKM memberikan kontribusi yang nyata dalam penambahan PDB negara-negara tersebut. Dengan demikian peran UKM sangat vital dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara.

        Kebijakan pengembangan UKM di Indonesia memiliki perbedaan dan persamaan dengan kebijakan yang diterapkan di Thailand, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Amerika Serikat. Secara umum perbedaan kebijakan pengembangan UKM terdiri dari segi pendanaan dan keuangan, teknologi dalam rangka peningkatan kualitas produk, pemasaran dan promosi produk UKM, serta pengembangan sumber daya manusia sektor UKM.

        Salah satu perbedaan yang paling mendasar adalah adanya institusi tersendiri yang menangani kebijakan UKM di beberapa negara, seperti Small Medium Business Administration-SMBA (Korea Selatan), Small Medium Enterprises Administration-SMEA (Taiwan), Small Business Administration-SBA (Amerika), Small Medium Industry Development Cooperation-SMIDEC (Malaysia), SME promotion commision (Thailand) dan Japan Small Medium Enterprise Corporation-JASMEC (Jepang), sedangkan di Indonesia ada dua yaitu MenegKop dan PKM serta Depperindag, yang kadangkala menimbulkan dualisme kebijakan yang saling tumpang tindih.

        Selain itu beberapa negara melibatkan universitas dan lembaga penelitian dalam mengembangkan UKM seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand. Indonesia, Malaysia, dan Amerika belum sepenuhnya melibatkan peran universitas dan lembaga penelitian dalam pengembangan UKM.

        Dari segi pendanaan dan keuangan, usaha besar di Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Amerika Serikat memberikan bantuan dana kepada UKM selain dari APBN, dan dana masyarakat. Sedangkan UKM di Thailand mendapat bantuan pendanaan dari sektor perbankan dalam dan luar negeri. UKM di Indonesia mendapatkan bantuan dari sektor perbankan dan laba BUMN. Program kegiatan pendanaan UKM yang dilaksanakan di Indonesia berupa pemberian kredit secara umum dan insentif pajak, sedangkan Thailand, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Amerika mempunyai program yang lebih variatif, seperti insentif investasi, dana pemulihan ekonomi, dan SME equity fund (Thailand), subsidi bunga, kredit modal usaha, jaminan kredit (Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan USA), kredit investasi, (Jepang, Taiwan, Korea Selatan), subsidi nilai tukar (Korea Selatan) pendanaan perdagangan, bantuan promosi ekspor (USA), bantuan perencanaan dan pengembangan usaha, kredit peningkatan kualitas ekspor, bantuan rehabilitasi usaha (Malaysia).


UNTUK INFORMASI HASIL PENELITIAN LEBIH LENGKAP,
ANDA DAPAT MENGHUBUNGI PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN RI